Leukimia - Deadly, Incurable, Silent Killer

Apa sih rasanya menjadi penderita kanker? How emotionally unstable are cancer bearer? Bagaimana mereka hidup dengan penyakit yang menggerogoti sel-sel sehat yang ada dalam tubuh mereka? Bagaimana mereka hidup dengan berbagai macam obat, yang terkadang tidak menyembuhkan penyakit mereka, tapi malah menghancurkan sel-sel yang sehat? How do they live knowing that every minute of their life could be the last?

Terlalu banyak film, buku, kesaksian yang menggambarkan bagaimana rasanya menjadi seorang penderita kanker atau terminal ilness yang dipublikasikan oleh berbagai media. Sampai orang yang sehat pun bisa berkata, live your life as if this was your last day, dan menyalahgunakan ungkapan itu untuk hidup ugal-ugalan dan tidak menghargai nyawa. Lalu bagaimana rasanya yang benar-benar live the day as if it was their last day? Bagaimana rasanya keluarga si penderita kanker yang berharap anak/suami/istri/ayah/ibu mereka punya kesempatan untuk hidup setidaknya sehari lagi?

Tahun ini kami akan memperingati tahun ketiga kepulangan Reza ke rumah Bapa di surga karena kalah disaat melawan penyakit leukimianya. Orang berpikir bahwa disaat seseorang sakit, yang sakit hanya dia seorang. Tapi kenyataannya tidak seperti itu untuk penderita kanker dan penyakit-penyakit terminal lainnya. Keluarga dari sang penderita kanker itu pun membutuhkan dukungan, emosional khususnya. Karena kita hidup di Indonesia, dimana mental health adalah masalah yang dianggap tidak terlalu penting dibandingkan isu-isu lain, dan kita hidup dimana dokter lebih baik sedikit menutupi fakta dibanding langsung memberi tahu persentase keselamatan si pasien.

Di saat Reza divonis menderita kanker, kita sebagai keluarga sangat optimis dengan kesembuhannya. Kita sama sekali tidak berpikir pada kenyataannya kanker adalah vonis mati secara pelan-pelan. Apalagi leukimia. Jenis kanker yang lain yang berasal dari tumor dapat diringankan dengan mengangkat tumornya, dengan berbagai macam syarat dan ketentuan kanker lain masih punya kesempatan untuk sembuh total walaupun jarang terjadi. Tapi leukimia adalah kanker darah, darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Pada saat bertemu dokter yang menangani Reza, tidak pernah sekalipun mereka mengatakan bahwa tubuh manusia tidak akan kuat menerima obat kemoterapi yang dosisnya tinggi-tinggi itu. Sebagai keluarga kami selalu optimis bahwa Reza pastilah akan sembuh, tapi memang harus tinggal di rumah sakit sekian lama. Kenyataannya, badannya hanya sanggup bertahan sampai 4 bulan. Sebagai keluarga, saya agak kecewa karena ternyata dokter di Indonesia tidak mengganggap pasien adalah orang yang pantas untuk diajak berdiskusi. Mungkin mereka khawatir kalau menyampaikan yang sesungguhnya pasien akan merasa down dan mempercepat kematian. Jadi pada intinya, orang Indonesia itu tidak gentle dan takut menghadapi kematian. Kalau kita lihat gimana orang-orang bule yang divonis mengidap kanker menghabiskan sisa hidupnya, kebanyakan ga mau dikemo dan menikmati hidup semaksimal mungkin jadi pada saat mereka pergi tidak ada lagi penyesalan yang tertinggal.

Hubungan keluarga kami bukanlah hubungan yang mudah apalagi harmonis. Apalagi sejak kehilangan Reza. Masing-masing anggota keluarga seperti punya cara masing-masing untuk deal with the sadness and emptiness, dan sedihnya kita tidak melakukan itu bersama-sama. Satu orang caranya begini, satu orang caranya begitu. Trauma yang sama tetapi memisahkan kami yang tinggal bertiga. One goes to Church many times to heal her wound, one went to drinking around and never go back home until late every single weekend, one went to close himself tightly nobody knows what he were thinking. Jadi keluarga ini menjadi seperti broken home, tapi diam-diam. Looks really firm on the outside, but drifted apart on the inside. Cold war happened on this family.

Banyak orang pasti berkata, wah keluarga kalian sedang diuji oleh yang di atas. Tapi yang di atas itu siapa? Karena saya pribadi tidak percaya kalau Tuhan mampu menguji anak-anak kesayangan-Nya setega ini. Manusia yang egois seperti kita ini gampang sekali menyalahkan Tuhan. Dan pada dasarnya selalu minta dibantu kalau sudah kesusahan, maunya senang-senang aja. Tapi kita suka lupa, Tuhan adalah yang memberi nyawa, Tuhan lah yang berhak mengambil nyawa kita juga. Dulu sih waktu belum mengalami keadaan kaya gini, kayanya kata-kata semacam ini cuma wacana. Setelah dialami secara pribadi, ternyata memang kata-kata ini sangat tepat. Ada orang dekat yang selalu berkata pada saya, Tuhan tidak memberi cobaan pada kita, tapi Tuhan mengijinkan itu terjadi pada kita, supaya iman kita semakin kuat.

Terlalu banyak cerita mengenai sang penderita kanker itu sendiri. Bagaimana perjuangannya, kalau dia mau berjuang. Some were win, some were lose. Reza adalah salah satu yang kalah dalam perjuangannya melawan penyakit yang sangat mematikan. Dia sudah berjuang dengan sangat berani, gigih, dan tabah. But eventually, he chose to gave his mortal body up. He chose to live eternally with God. Kita sekeluarga percaya, Reza sudah berada di pangkuan Bapa Di Surga. Saya dan mama percaya, Reza adalah jiwa yang diselamatkan karena iman, karena pada saat terakhirnya dia memanggil nama Tuhan. Dan buat kami itu sangat luar biasa, Reza bisa menguatkan kami-kami yang dulu masih dirundung kesedihan.

Sepanjang Reza sakit, yang luar biasa adalah mama. Siang malam dia jaga di rumah sakit setiap hari. Malam tidur di rumah sakit, pagi pulang ke rumah, masak untuk Reza, lalu siang kembali ke rumah sakit lagi. Begitu setiap hari dari tanggal 19 April 2015-17 Agustus 2015. Waktu itu saya masih terlalu egois dan menganggap remeh penyakit Reza. Datang juga sekali-sekali, kadang seharian kadang pergi lagi, dan cara saya yang seperti ini meninggalkan penyesalan yang luar biasa setelah Reza pergi. Hal yang paling berharga pada penderita kanker adalah waktu. Karenanya kalau kalian punya anggota keluarga yang menderita kanker, pergunakanlah waktu yang tersisa sebaik-baiknya. Karena kita ga tau sampai kapan tubuh keluarga kita ini kuat menerima pengobatan, dalam hal ini kemoterapi, yang tidak hanya menghancurkan sel kanker, tapi juga menghancurkan sel yang sehat.

Selain menghancurkan badan yang sakit, kanker juga menggerogoti pikiran dan badan orang-orang di sekelilingnya yang menjaga. Mama yang normalnya 55kg, selama 4 bulan jadi 38kg. Yang tadinya memang sudah punya penyakit gula, semakin menjadi-jadi pada saat menjaga Reza. Mama orangnya sangat santai dan tidak mudah stress. Tapi nyatanya, keadaan bisa menghabisi mama juga. Waktu masih di rumah sakit swasta, bayar sendiri (dibayarin om, kakaknya papa yang baik hati banget) cari obat gampang sekali. Semua rumah sakit yang urus, kita tau beres tinggal bayar. Bertahan di rumah sakit ini sekitar 2 bulan, lalu setelah itu menggunakan BPJS di rumah sakit terbesar milik pemerintah yang ada di Jakarta. Medical dan billing record juga masih lengkap sampai sekarang ada di saya.

Reza sempat diisolasi sebanyak 2 kali di rumah sakit swasta ini. Saat kemo tahap percobaan, dia sama sekali tidak boleh kena sinar matahari, dan ruangan juga harus dingin sekali. Kamarnya seperti kamar penjara, tanpa jendela, susah sinyal, dan super dingin. Tapi masih boleh dijenguk selama orang itu sehat. Pengunjung masih berdatangan, teman-teman, saudara, orang Gereja, semua datang mendoakan, memberi dukungan moril. Disini juga Reza masih bagus badannya, walaupun beberapa kali trombositnya drop. Pre-kemoterapi dijalankan dengan sukses di kamar tanpa jendela ini.

Setelah itu dia dipindah ke kamar isolasi VIP, ada jendela, tapi orang tidak boleh masuk. Jadi kaya inkubator, tapi berbentuk kamar. Segala barang pribadi yang masuk harus disteril terlebih dahulu. Yang boleh masuk hanya suster untuk memberi obat dan makan. Sampai tahap ini mama masih tiap hari tidur di rumah sakit. Di dalam pintu kedua ada ruangan kecil yang bisa digunakan untuk tidur. Mama masih setia masak setiap pagi buat Reza. Sampai sejauh ini nafsu makannya masih luar biasa kuat, semangat untuk sembuhnya masih kuat. Dia kangen berat sama Hugo dan Ressel. Sampai video call sama Hugo segala. Kita juga masih optimis, karena dokter bilang Reza cuti setahun kuliah sampai benar-benar sembuh baru melanjutkan skripsinya. Sudah ada target, what could go wrong? Kalau sudah ada target, berarti banyak pasien lain yang sembuh setelah setahun di kemoterapi. Oh ya, leukimia yang menjangkit Reza adalah tipe ALL (Accute Lymphoblastic Leukimia), yang biasanya diderita oleh anak-anak atau orang tua over 60s. Semua orang yang bisa googling yang menjenguk Reza bilang kalau ALL adalah tipe leukimia yang kalau sudah sembuh tidak akan relapse seperti AML. Yang kami tidak tahu adalah, belum ada pasien ALL yang sembuh total. Banyak pasien AML yang bertahan, tapi bertahan untuk sementara waktu dan hanya bergantung pada obat-obatan.

Kekurangan info, dan denial yang membuat kami sekeluarga seperti menutup kemungkinan kalau Reza will eventually pergi selama-lamanya meninggalkan kami. Dokter selalu berkata, oh bagus perkembangannya, padahal anaknya lemes, pusing terus-terusan. Mereka selalu bilang, efek samping kaya gini cuma sementara ya, padahal nyatanya trombositnya ga pernah naik seperti orang normal lagi. Dari tanda-tanda klinis yang kami abaikan ini sebenarnya sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya perawatan yang dijalani ini tidak bisa menyembuhkan, hanya bisa menambah umur untuk beberapa saat. Dan untuk mukjizat, kan cuma dibutuhkan sama orang-orang yang hopeless bukan? Sedangkan kami tidak hopeless, kami percaya diri kalau penyakit ini bisa disembuhkan, toh teknologi dan ilmu kedokteran sudah maju.

I took a long time to make this. Once I feel like I don't deserve to have this kind of sorrow after all what I didn't do for Reza. But then I realize that every people has their own kind and time to cope with their loss. Stay strong, remember that everything will be good in God's time, and never lose hope, then you'll get back up on your own two feet.

The saddest summary of a life contains three descriptions: could have, might have, and should have. ~ Louis E. Boone

Comments

  1. Perlu saya tambahkan saya adalah ayah/Bapak dari anak Reza.
    Walau saya tampaknya tidak memperhatikan beliau,namun secara mental pikiran dan beban hidup saya tetap sayang beliau dan memperhatikan.
    Sehingga luka dan kesedihan hati saya ini,masih tetap berlangsung hingga sekarang.
    Bahkan mungkin sampai ajal menjemput saya.Kadang saya seperti anak kecil balita,yang sering merasa sedih terpojok dan menangis dalam kebisuan malam kadang disiang hari bolongpun.
    Perlu diketahui juga bahwa saat ini saya juga menderita kanker prostat STADIUM 4.

    Dan Sampai saat ini saya merasakan penyesalan yang luar biasa,karena waktu beliau di rawat secara jujur saya sampaikan saya hanya menjenguk dan menemani tidur.
    Tanpa menyadari seperti kata anak saya Rena bahwa ,beliau sedang berjuang dan berpacu dengan waktu yang maut akan menjemputnya.
    Namun saya bersyukur bahwa pada saat itu saya sudah ditutup mata batin saya bahwa Reza tidak dapat sembuh lagi.
    Dengan bantuan saudara kakak kandung saya yang murah hati yaitu Raymond Bachtiar dan Lisdianawati,mereka sangat amat membantu baik secara moril maupun MATERIIL sepenuhnya.
    Selama proses pengobatan Reza hingga beliau pergi untuk selama2nya.

    Semoga seiring waktu luka ini dapat tersembuhkan walau saya pesimis.
    I love you Reza R I P,berbahagialah kamu dipangkuan Nya.
    Biarlah Papa yang masih disini berjuang untuk hidup dan mencoba menjalani ditengah hiruk pikuk dan kebusukan dunia ini. Namun bagiku hanya keheningan dan kebisuan didunia ini tanpamu.(Wajah bisa saja tertawa namun hati tetap saja hancur lebur)

    I love you my Son.See you soon my lovely Son.



    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts